BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Sebagai salah satu negara yang
memiliki keanekaragaman hayati yang beranekaragam, Indonesia memiliki kekayaan
laut yang berlimpah ruah. Banyak diantara keanekaragaman hayati tersebut masih
tersimpan atau belum bisa dimanfaatkan dengan baik, selain itu juga tidak dapat
dipungkiri bahwa keanekaragaman hayati yang dimiliki negara Indonesia kini
telah dimanfaatkan namun tidak semuanya disertai dengan kearifan dan perlakuan
sehat manusia. Bahkan salah satu diantara keanekaragaman hayati tersebut kini
keberadaannya terancam punah. Salah satu diantaranya adalah penyu.
Tidak banyak regenerasi yang dihasilkan oleh seekor penyu. Dari ratusan
butir telur yang dikeluarkan oleh seekor penyu betina, paling banyak hanya
belasan yang berhasil sampai ke laut kembali dan tumbuh dewasa. Itu pun tidak memperhitungkan faktor perburuan
oleh manusia dan predator alaminya seperti kepiting, burung dan tikus di
pantai, serta ikan-ikan besar begitu tukik (anak penyu) tersebut
menyentuh perairan dalam. Menurut A Wildlife Conservation Society
(WCS), salah satu organisasi penelitian dan pencinta lingkungan, berhasil
melihat lima
ekor penyu Hutan Arakan, yang nyaris punah hidup di alam liar. Bukan apa-apa, ini adalah
yang pertama kali hewan ini terlihat hidup di alam liar. Sebelumnya hewan ini
pernah dikira telah punah pada tahun 1994.
Maraknya perburuan induk dan
telur penyu merupakan salah satu dari beberapa faktor penyebab terancamnya
populasi penyu. Selain itu kemajuan teknologi yang semakin pesat membuat daerah
lingkungan alam menjadi berubah. Banyak kawasan pantai yang merupakan habitat
keanekaragaman hayati pantai, kini dijadikan sebagai tempat objek wisata,
permukiman serta tempat industri. Kehadiran objek wisata tersebut, dengan
sarana dan prasarana membuat lingkungan berubah, demikian pula ekosistemnya.
Keadaan tersebut tentu saja dapat mengakibatkan habitat keanekaragaman hayati
khususnya keberadaan populasi penyu di daerah pantai menjadi terganggu.
Oleh karena itu penulis tertarik
untuk membuat karya tulis yang berjudul Kehidupan dan Varietas Penyu di
Perairan Pulau Bali karena melihat keadaan penyu saat ini sudah agak jarang
ditemui di perairan kita.
1.2
Rumusan Masalah
1. Bagaimana sejarah dan siklus
kehidupan penyu di perairan pulau bali?
2. Apa saja keanekaragaman jenis
dari spesies penyu?
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui
perkembangan sejarah kehidupan penyu.
2. Mengenal varietas spesies
penyu.
1.4 Manfaat
1. Dapat mengetahui
perkembangan sejarah kehidupan penyu.
2. Mampu mengenal dan
membedakan jenis-jenis penyu.
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Reptil
Reptil (binatang melata)
adalah sebuah kelompok hewan vertebrata yang berdarah dingin dan
memiliki sisik
yang menutupi tubuhnya. Penyu
merupakan hewan air yang termasuk kelas Reptilia. Reptilia adalah tetrapoda
(hewan dengan empat tungkai) dan menelurkan telur yang embrionya
diselubungi oleh membran amniotik. Sekarang
ini mereka menghidupi setiap benua kecuali Antartika, dan saat ini mereka dikelompokkan sebagai:
·
Ordo Crocodilia (buaya, garhial, caiman, dan alligator)
: 23 spesies
·
Ordo Sphenodontia (tuatara Selandia Baru)
: 2 spesies
·
Ordo Squamata
(kadal,
ular dan amphisbaenia
("worm-lizards") : sekitar 7.900 spesies
·
Ordo Testudinata
(kura-kura,
penyu,
dan terrapin) : sekitar
300 spesies
Mayoritas Reptil adalah ovipar (bertelur) meski
beberapa spesies Squamata bersifat vivipar (melahirkan).
Reptil vivipar memberi makan janin mereka menggunakan sejenis plasenta
yang mirip dengan mamalia.
Ukuran Reptil bervariasi, ada yang mencapai ukuran ± 180 cm
yaitu Penyu Belimbing (Dermochelys coriacea). Cabang ilmu pengetahuan alam yang mempelajari reptil adalah Herpetologi
(Wikipedia, 2010).
2.2 Anatomi Penyu
Penyu termasuk hewan bertulang
belakang (Vertebrata) yang memiliki tubuh yang lebar dan dibungkus oleh kulit
cangkang yang tersusun dari zat tanduk yang keras dan kasar. Kulit
bagian atas berbentuk cembung dan
bundar disebut karapas dan kulit bagian bawah datar disebut plastron yang berfungsi menyokong dan melindungi
tubuh Penyu. Berikut ini merupakan
gambar struktur organ-organ yang terdapat dalam Penyu :
|
Keterangan :
1.
Batang Tenggorok
2.
Tenggorokan
3.
Jantung
4.
Lambung
5.
Paru-paru
6.
Pankreas
7.
Hati
8.
Usus
9.
Ovary
10. Kantung kemih
11. Kloaka
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Metodologi Penelitian
Penelitian deskriptif merupakan metode penelitian yang berusaha
menggambarkan dan menginterpretasi objek sesuai dengan apa adanya (Best, 1982). Penelitian deskriptif pada umumnya
dilakukan dengan tujuan utama, yaitu menggambarkan secara sistematis fakta dan
karakteristik objek dan subjek
yang diteliti secara tepat. Dalam perkembangan akhir-akhir ini, metode
penelitian deskriptif juga banyak dilakukan oleh para penelitian karena dua
alasan. Pertama, dari pengamatan empiris didapat bahwa sebagian besar laporan
penelitian di lakukan dalam bentuk deskriptif. Kedua, metode deskriptif sangat
berguna untuk mendapatkan variasi permasalahan yang berkaitan dengan bidang
pendidikan maupun tingkah laku manusia. (Hartoto,
2009). Dengan metode
deskriptif, penelitian memungkinkan untuk melakukan hubungan antar variabel,
menguji hipotesis, mengembangkan generalisasi, dan mengembangkan teori yang
memiliki validitas universal (West, 1982).
3.2 Objek Penelitian
Objek
penelitian ini adalah penyu terutama sejarah kehidupannya dan jenis-jenisnya.
Dari objek tersebut akan dikumpulkan menjadi beberapa uraian data.
3.3 Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini
adalah teknik observasi. Teknik observasi adalah metode pengumpulan data secara
sistematis melalui pengamatan dan pencatatan terhadap fenomena yang diteliti
(Hariwijaya, 2008:63). Observasi dilakukan terhadap Penyu berdasarkan Ciri-ciri
morfologi yang meliputi fisiknya (ukuran, berat dan warna) dan siklus kehidupannya
(habitat dan makanan) di kawasan Pulau Bali, Tanjung Benoa.
BAB IV
PEMBAHASAN
4.1 Sejarah Kehidupan Penyu
Pada abad ke-20,
konsumsi dan perdagangan produk penyu secara besar-besaran mengancam
kelangsungan hidup penyu. I.G.N.
Sudiana dalam “Transformasi Budaya Masyarakat Desa Serangan di Denpasar Selatan
Dalam Pelestarian Satwa Penyu”, yang dimuat jurnal Bumi Lestari, Agustus
2010, mencatat pariwisata Bali pada pertengahan 1980-an mengandalkan komoditas
penyu, baik dalam bentuk makanan, kerajinan tangan, maupun kosmetik. Bali juga menjadi tempat transit kapal-kapal transaksi
penyu. Ironisme muncul ketika daging
penyu dijadikan konsumsi
sehari-hari sekaligus untuk upacara-upacara adat.
Konsumsi dan perdagangan bukan satu-satunya ancaman keberlangsungan hidup
penyu di abad modern. Polusi lingkungan membunuh banyak penyu laut. Sampah
plastik dan sintetis jadi ancaman terbesar karena penyu tak dapat membedakannya
dengan makanan di laut. Tumpahan minyak dan bahan-bahan toksin mematikan sumber
makanan penyu dan menimbulkan berbagai penyakit. Area pantai yang berubah
fungsi jadi tempat tinggal dan komersial mempersempit wilayah penyu bertelur.
Kekhawatiran akan keberlangsungan hidup penyu terus memasuki titik krisis
dengan pemanasan global dan dampaknya terhadap regenerasi dan mortalitas penyu.
Penyu laut, yang termasuk dalam kelompok reptil, memiliki Temperature Sex
Determination (TSD), di mana titik suhu 29° C menentukan jenis kelamin
embrio penyu. Suhu di atas 29° C cenderung menghasilkan betina dan sebaliknya,
suhu di bawah 29° C kebanyakan menghasilkan jantan. Lebih dari satu dekade
lalu, sebuah studi selama 1986-1988 oleh Nicholas Mrosovsky dan Jane Provancha
di wilayah Pantai Cape
Canaveral, Florida, tempat spesies Penyu
Tempayan (Caretta caretta)
bertelur, membuktikan temperatur pasir yang tinggi menyebabkan 87-89% bayi
penyu yang lahir adalah betina.
Kini dengan meningkatnya suhu secara global, para ilmuwan memprediksi,
pada tahun-tahun mendatang populasi penyu laut hanyalah betina. Tanpa rasio
jenis kelamin yang seimbang, regenerasi penyu laut akan terhenti dan menuju
kepunahan.
Seiring dengan bertambahnya jumlah manusia, penyu mengalami berbagai
kesulitan. Manusia seringkali merusak habitat tempat penyu bertelur. Manusia
juga memburu telur-telur penyu dan penyu-penyu dewasa sehingga menurunkan
tingkat pertumbuhan populasi penyu. Hal tersebut semakin diperparah dengan
adanya polusi yang disebabkan oleh manusia berupa tumpahan minyak dari
pengeboran minyak di lepas pantai dan plastik yang menyebabkan rusaknya
ekosistem, termasuk juga ekosistem pantai dimana terdapat habitat dan tempat
bertelur dari penyu.
Beberapa upaya telah dilakukan untuk melestarikan penyu. Salah satunya
adalah dengan pengelolaan kelestarian penyu yang berkelanjutan. Bentuk
pengelolaan itu adalah melalui penangkaran penyu. Penangkaran penyu yang ada di
Indonesia
antara lain penangkaran penyu sisik di Pulau Pramuka, penangkaran Penyu Sisik di Balai Taman Nasional Laut
Kepulauan Seribu (TNLKpS), program penyelamatan penyu di Kuta, dan penangkaran
penyu Sukamaju di Pekon Muara Tembulih. Dengan adanya pengelolaan ini,
diharapkan masyarakat akan lebih peduli terhadap kelestarian penyu.
4.2 Daur Kehidupan Penyu
Penyu merupakan jenis satwa
yang memiliki daur hidup yang panjang. Setiap tahap kehidupan, penyu memiliki
karakteristik perilaku habitat dan tingkat ancaman yang berbeda. Penyu
diketahui hidup di laut baik di perairan dalam maupun dangkal. Penyu sering
dijumpai di perairan yang memiliki terumbu karang. Selain itu penyu juga
terkenal sebagai satwa yang melakukan migrasi.
4.2.1
Perkawinan
Jika telah
siap untuk melakukan perkawinan, penyu dewasa yang hidup di laut lepas akan
bergerak menuju perairan yang lebih dangkal. Tidak jarang, penyu harus menempuh
ribuan kilometer untuk mencapai habitat perkawinan. Letak habitat perkawinan
ini biasanya berjarak kurang lebih 100 Km dari pantai peneluran. Bagi beberapa
spesies, aktivitas kawin terjadi beberapa minggu sebelum musim peneluran.
Proses perkawinan penyu terjadi di dalam air. Posisi penyu jantan berada diatas
penyu betina. Penyu jantan memiliki semacam cakar di flipper depannya yang
berfungsi mencengkram kerapas penyu betina saat melakukan kopulasi. Pembuahan telur
berlangsung secara internal. Sebelum melakukan perkawinan, penyu betina telah
terlebih dahulu menghasilkan sel telur dewasa yang siap dibuahi. Dengan
demikian, seekor penyu betina dapat dibuahi oleh dua atau lebih penyu jantan.
4.2.2 Pasca Perkawinan
Setelah
melakukan perkawinan, penyu betina menuju ke habitat antara (interesting
habitat) yang biasanya berjarak 15 Km dengan pantai peneluran. Penyu betina
berada di habitat antara ini selama musim bertelur. Beberapa ahli mengatakan
bahwa penyu jantan kerap terlihat berada di habitat ini selama musim bertelur.
Selama berada di habitat antara ini, penyu betina hanya makan sedikit saja atau
bahkan tidak makan. Penyu betina hanya menyelesaikan proses pengelompokan
telur-telur di dalam rahimnya. Kelompok telur inilah yang akan di keluarkan
secara bertahap di pantai peneluran.
4.2.3 Perilaku Bertelur
Penyu betina
yang telah siap untuk bertelur, akan naik ke pantai pada malam hari. Penyu
betina biasanya naik pada saat air laut pasang. Kondisi air laut yang sedang
pasang memudahkan penyu untuk mencapai pantai dan menjadi tolak ukur bagi penyu
unuk memilih tempat bertelur yang aman dari jangkauan air laut. Lazimnya pada
suatu pantai peneluran di indonesia, penyu-penyu betina tidak naik ke pantai
secara berombongan (massive). Namun pada beberapa pantai peneluran lain didunia
terjadi Arribada yakni peristiwa dimana penyu betina yang naik ke suatu pantai
peneluran sangat banyak jumlahnya dan hampir bersamaan. Arribada awal dapat
mengindikasikan tingginya jumlah individu dalam satu populasi penyu di suatu
tempat. Namun terjadinya arribada dapat menjadi ancaman. Tempat bertelur
menjadi sangat terbatas, banyak sarang rusak akibat dibongkar untuk dijadikan
sarang baru. Proses penyu bertelur dapat diuraikan sebagai berikut :
a. Pemilihan tempat bertelur
Dalam tahap
ini penyu mulai menginjakan kakinya di tepi pantai dan mulai menuju ke daratan
yang sesuai untuk membuat sarang dengan menggunakan kaki depan yang dibantu
atau di dorong kaki belakang. Pada umumya penyu ini menempuh jalan yang lurus
dengan meninggalkan jejak yang arahnya diagonal simetris, dan dalam berjalannya
diselingi dengan berhenti menarik nafas sampai akhirnya menemukan tempat yang
sesuai untuk mulai membuat lubang tempat bertelur.
Penyu betina
memilih pantai peneluran bukan hanya pada pantai tempat dahulu ia ditetaskan,
tetapi juga pantai yang memiliki karakteristik tertentu. Pantai-pantai
peneluran penyu tersebut biasanya merupakan pantai berpasir yang cukup datar
dan cukup lebar. Pantai-pantai ini biasanya berbatasan dengan laut yang dalam,
seperti pantai-pantai yang terdapat di pesisir Selatan Pulau Jawa. Penyu betina
selalu memilih tempat bertelur yang tidak terjangkau oleh air laut saat pasang
terjadi. Selain itu penyu selalu memilih pantai yang relatif sepi dan gelap.
b. Membuat sarang
Penyu betina
akan mulai menggali sarang setelah menemukan tempat yang tepat. Proses
penggalian sarang biasanya dimulai dengan membuat body fit hingga sebagian
badan penyu betina akan terlihat sedikit terkubur didalam pasir. Setelah itu,
dengan menggunakan kaki belakangnya, penyu akan mulai membuat lubang kecil
tempat penyimpanan telur-telurnya. Kedalaman lubang telur tergantung pada
ukuran panjang flipper belakang penyu tersebut.
c. Bertelur
Penyu betina
akan mengeluarkan telur dari kloakanya dengan jumlah telur yang tidak berurutan
setelah pembuatan sarang telur selesai. Bersamaan dengan pengeluaran telur ini,
biasanya penyu tersebut mengeluarkan cairan yang serupa dengan air mata. Jumlah
telur penyu dalam satu sarang biasanya berkisar antara 50-170 butir, tergantung
pada jenis penyunya. Cangkang telurnya lembut dan cukup lentur sehingga tidak
akan pecah saat di keluarkan.
Pada umumnya
proses penyu untuk bertelur selalu terjadi di pantai. Ketika seekor penyu
terlihat bergerak dari laut menuju pantai atau
jika seekor penyu terlihat dipantai, kita sangat tidak disarankan untuk
mengganggu penyu tersebut. Tahapan-tahapan yang akan dilakukan seekor penyu
saat bertelur mesti kita pahami. Beberapa tahapan sangat sensitif terhadap
gangguan, sedangkan beberapa tahapan yang lain masih bisa ditolerir oleh penyu.
Berikut akan disajikan proses bertelur penyu yang dibagi dalam beberapa tahapan
sebagai berikut:
Bagan 1.4 Peta proses bertelur penyu
Pada tahapan ke 1 sampai 4, penyu rentan terhadap
gangguan. Apabila penyu merasa ada gangguan dan ancaman yang dapat membahayakan telur-telurnya, dia akan segera
kembali ke laut. Tahapan 5, penyu akan menggunakan keempat ekstremitasnya
menggali pasir untuk menanam tubuhnya.
Tahapan 6, lubang vertikal sedalam sekitar 60 cm dan
selebar sejengkal orang dewasa akan digali oleh penyu dengan ekstremitas
belakang. Pada tahap ini penyu masih mudah terganggu oleh pergerakan dan sinar.
Tahapan 7, sejumlah 80 hingga 150 butir telur akan dikeluarkan melalui kloaka.
Tahapan 8 dan 9, menunjukkan periode saat sensitifitas penyu relatif rendah; sinar, pergerakan dan sinar terang bisa ditolerir. Pada tahapan ini, akan ditandai penutupan lubang telur yang dilakukan dengan ekstremitas belakang dan lubang tubuh yang dilakukan dengan keempat ekstremitas.
Tahapan 7, sejumlah 80 hingga 150 butir telur akan dikeluarkan melalui kloaka.
Tahapan 8 dan 9, menunjukkan periode saat sensitifitas penyu relatif rendah; sinar, pergerakan dan sinar terang bisa ditolerir. Pada tahapan ini, akan ditandai penutupan lubang telur yang dilakukan dengan ekstremitas belakang dan lubang tubuh yang dilakukan dengan keempat ekstremitas.
Tahapan 10 dan 11, saat penyu bergerak ke arah laut,
sinar akan cenderung membuatnya dis-orientasi. Sepanjang pada waktu dan arah
yang sama tidak ada penyu yang naik ke pantai, kita masih bisa mengikuti
gerakan penyu hingga batas air dengan berendap-endap.
Waktu yang
dibutuhkan oleh seekor penyu dari saat muncul dari laut hingga kembali ke laut
bervariasi antara 1 – 11 jam, tergantung jenis penyu, tingkat gangguan yang
dihadapinya di pantai, serta kondisi fisik pantai yang bersangkutan. Umumnya
penyu hijau hanya memerlukan waktu sekita 2 – 3 jam untuk melaksanakan proses
ini dan penyu lekang bisa ± 1 jam saja.
Pemanasan global juga berdampak buruk pada angka
kelahiran penyu laut. Tingkat populasi penyu laut tergantung pada kesuksesan
masa inkubasi dengan parameter suhu antara 26 hingga 33° C. Peningkatan suhu di
atas 33° C akan menggagalkan masa inkubasi. Selain itu, suhu pasir yang tinggi
akan mengakibatkan bayi penyu kesulitan mengkoordinasi otot untuk bergerak ke permukaan
pasir (dari sarang) dan menganggu metabolisme karena kekurangan oksigen.
d. Menutup sarang dan membuat tipuan
Setelah
bertelur, penyu betina akan menutup lubang sarangnya dan membuat tipuan. Cara
menutup sarang dan membuat tipuan adalah berbeda pada tiap jenis penyu. Penyu
Lekang tidak membutuhkan waktu yang lama untuk membuat tipuan sarang, tetapi
Penyu Belimbing dapat menghabiskan waktu lebih dari satu jam untuk membuat
tipuan sarang yang cukup besar.
e. Kembali ke laut
Penyu
kembali ke laut dengan mengambil jalan yang lurus setelah selesai melakukan
proses peneluran. Pada saat mendekati air laut, gerakannya dipercepat sampai
akhirnya lenyap dari pandangan mata.
4.2.4 Masa Inkubasi
Telur-telur
penyu membutuhkan waktu sekitar 45-70 hari untuk menetas. Lama proses inkubasi
tergantung pada temperatur dan kelembaban. Semakin rendah temperatur, semakin
lama waktu inkubasi. Temperatur juga dapat menentukan perbandingan jumlah jenis
kelamin tukik yang menetas. Pada temperatur harian lebih tinggi dari temperatur
Pivotal maka akan lebih banyak tukik betina yang dihasilkan, sedangkan jika
temperatur harian rendah dari temperatur pivotal maka akan lebih banyak tukik
jantan yang dihasilkan. Bila waktunya tiba untuk menetas, tukik akan menembus
cangkang telur dengan menggunakan gigi temporal. Tukik-tukik yang telah menetas
masih harus berjuang menembus pasir untuk dapat mencapai permukaan sarang.
Perjuangan mereka ini membutuhkan waktu 3-5 hari. Sementara itu, permukaan
sarang yang telur-telurnya telah menetas biasanya merosot dan membentuk
cekungan seluas lubang telur.
4.2.5 Menetas
Biasanya
tukik membutuhkan 1-7 hari untuk keluar dari dalam sarang pada malam hari.
Tukik-tukik akan segera menuju laut begitu mereka berhasil keluar dari dalam
sarang. Belum banyak diketahui mengenai faktor-faktor yang menyebabkan mereka
dapat menentukan arah laut. Sejak menetas sampai beberapa hari setelah berada
di dalam laut, tukik belum dapat mencari makan sendiri. Mereka memperoleh
makanan dari kantong kuning telur yang melekat pada tukik setelah menetas.
4.2.6 Ancaman yang dihadapi Penyu
Dalam setiap
tingkatan usia, penyu menghadapi berbagai macam ancaman bagi kelangsungan
hidupnya. Ancaman yang dihadapi dapat dibedakan atas predator alami, penyakit,
faktor alam, dan dampak dari kegiatan manusia.
a. Ancaman pada fase embrio atau telur
§
Predator alam seperti semut, kepiting, rubah dan biawak.
§
Jamur dan bakteri yang tumbuh dan berkembang dalam sarang karena suasana
yang terlalu lembab dapat merusak telur dan menghentikan perkembangan embrio di
dalamnya.
§
Terendam dalam air laut dan air tawar. Telur-telur yang sudah terendam
dalam air laut maupun air tawar tidak dapat berkembang lagi.
§
Deforestasi juga dapat secara tidak langsung mengancam proses penetasan
telur penyu
b. Ancaman pada fase tukik
§
Predator alami
Beberapa saat setelah keluar dari dalam sarang dan berada di pantai, tukik
harus menghadapi elang, burung laut, rakun, anjing hutan, kucing hutan dan
biawak. Hiu dan beberapa jenis ikan besar lainnya diketahui memangsa tukik di
laut.
§
Dehidrasi
Tukik dapat mengalami dehidrasi (kekurangan cairan) jika tidak masuk ke
dalam laut beberapa jam setelah menetas dan berhasil menembus permukaan tanah,
utamanya jika temperatur udara cukup tinggi. Tukik dapat mati kepanasan pada
suhu 37º C.
§
Kehabisan makanan.
Hambatan-hambatan saat melintas di pantai atau saat berenang meninggalkan
pantai penetasan, akan mengurangi persediaan nutrien dalam kantong kuning
telur.
c. Ancaman pada fase penyu muda atau dewasa
Pada fase
ini, ancaman terbesar yang dihadapi adalah berasal dari manusia. Walaupun pada
fase ini ancaman dari predator alam seperti hiu harimau dan paus pembunuh tetap
dihadapi oleh penyu. Namun sebagian besar kematian penyu muda dan dewasa
diakibatkan oleh dampak kegiatan manusia.
Ancaman-ancaman
tersebut dapat bersifat langsung maupun tak langsung, yang dapat di uraikan
sebagai berikut :
§
Semakin berkurangnya pantai-pantai peneluran penyu akibat pembangunan dan
pengembangan wilayah pesisir.
§
Penyu betina yang akan bertelur kerap kali terganggu dan atau gagal
bertelur akibat banyaknya sampah di pantai. Tukik yang baru menetas juga dapat
gagal menuju laut akibat banyaknya sampah di pantai.
§
Aktivitas dan kebisingan yang ditimbulkan dari aktivitas mausia di sekitar
pantai dapat menyebabkan penyu tidak jadi bertelur.
§
Cahaya yang berasal dari bangunan di sepanjang pantai menyebabkan penyu
yang hendak bertelur mengalami mis-interpretasi waktu, sehingga tidak jadi naik
ke pantai untuk bertelur. Tukik yang baru menetas juga dapat mengalami
mis-orientasi arah laut karena secara insting mengikuti arah datangnya cahaya
atau horizon yang lebih cerah.
§
Polusi yang terjadi di laut lepas kerap menyebabkan keracunan bagi penyu.
Tidak jarang di temukan penyu belimbing yang mati setelah memakan sampah
plastik yang bentuknya menyerupai Ubur-ubur.
§
Penangkapan tak sengaja oleh kapal-kapal penangkapan ikan yang menggunakan
jala (Trawler).
4.3
Klasifikasi Penyu
Berikut ini klasifikasi dari penyu laut yang masih
ada sampai saat ini :
Kingdom : Animalia
Sub.Kingdom :
Metazoa
Phylum : Chordata
Sub.Phylum :
Vertebrata
Class :
Reptilia
Sub.Class :
Anapsida
Ordo :
Testudines
Family : Dermochelyidae dan Cheloniidae
Family : Dermochelyidae dan Cheloniidae
Species : 1. Dermochelys
coriacea (Penyu Belimbing)
2. Chelonia
mydas (Penyu Hijau)
3. Eretmochelys imbricate (Penyu
Sisik)
4. Caretta caretta (Penyu Tempayan)
5. Natator depressus (Penyu Pipih)
6. Lepidochelys olivacea (Penyu Lekang)
7. Lepidochelys kempi (Penyu Lekang Kempii)
Berdasarkan klasifikasi
diatas, penyu memiliki banyak jenis, diantaranya yaitu tujuh spesies penyu yang
kini masuk daftar IUCN untuk hewan berisiko tinggi mengalami kepunahan. Ketujuh
spesies ini adalah :
1. Penyu Belimbing
(Dermochelys coriacea)
2.
Penyu Hijau (Chelonia mydas)
3. Penyu Sisik (Eretmochelys
imbricta)
4. Penyu Tempayan
(Caretta caretta)
5. Penyu Pipih (Chelonia
depressa atau Natator depresus)
6. Penyu Lekang (Lepidochelys
olivacea)
7. Penyu Lekang Kempii (Lepidochelys kempi)
4.3.1
Penyu Belimbing (Dermochelys coriacea)
Klasifikasi
Kingdom :
Animalia
Sub.Kingdom :
Metazoa
Phylum : Chordata
Phylum : Chordata
|
Class : Reptilia
Sub.Class : Anapsida
Ordo : Testudines
Family : Dermochelyidae
Genus :
Dermochelys
Species : Dermochelys coriacea
Species : Dermochelys coriacea
Penyu Belimbing (Dermochelys coriacea) merupakan species yang mempunyai punggung
yang diliputi kulit kuat dari zat tanduk yang disebut karapas. Karapas penyu
ini tidak bersisik, tetapi ada lima
sampai tujuh garis tebal yang memanjang dari leher sampai ekor. Panjang karapas
mencapai 2,5 m dengan berat mencapai 1500 Kg, umurnya dapat mencapai 200 tahun
lebih.
Musim kawin penyu ini berlangsung dari bulan Juni
sampai Agustus, betinanya mendarat untuk meletakkan telur-telurnya di pasir
hingga mencapai 80 butir. Penyu ini menggali pasir kira-kira 50 cm dalamnya
dengan diameter 50 cm. Kemudian mereka bertelur dalam lubang dan menimbunnya
kembali dengan pasir. Kegiatan ini
dilakukan kira-kira selama 2½ jam. Pasir itu kemudian mengerami sendiri
telur-telur itu selama 6-8 minggu sampai menetas menjadi tukik yang
keluar dari sarang untuk kemudian merangkak ke laut.
Penyu belimbing telah bertahan hidup selama lebih dari
ratusan juta tahun, kini spesies ini menghadapi kepunahan. Selama dua puluh
tahun terakhir jumlah spesies ini menurun dengan cepat, khususnya di kawasan
pasifik, hanya sekitar 2.300 betina dewasa yang tersisa. Hal ini menempatkan
penyu belimbing pasifik menjadi penyu laut yang paling terancam populasinya di
dunia.
Di kawasan Pasifik, seperti di Indonesia, populasinya hanya
tersisa sedikit dari sebelumnya (2.983 sarang pada 1999 dari 13000 sarang pada
tahun 1984).
Untuk mengatasi hal tersebut, pada tanggal 28 Agustus
2006 tiga negara yaitu Indonesia, Papua New Guinea dan Kepulauan Solomon telah
sepakat untuk melindungi habitat penyu belimbing melalui MoU Tri National
Partnership Agreement.
4.3.2
Penyu Hijau (Chelonia
mydas)
|
Kingdom : Animalia
Sub.Kingdom : Metazoa
Phylum : Chordata
Sub.Phylum : Vertebrata
Class : Reptilia
Sub.Class : Anapsida
Ordo : Testudinata
Family : Cheloniidae
Genus :
Chelonia
Species : Chelonia mydas
Species : Chelonia mydas
Penyu Hijau
(Chelonia mydas) dapat diidentifkasi berdasarkan
adanya sepasang sisik prafrontal, yang merupakan sisik diantara kedua matanya.
Ciri identifikasi ini mirip seperti penyu belimbing dan penyu tempayan yang
mempunyai dua pasang prafrontal.
Penyu Hijau
dapat dibedakan dari penyu pipih oleh tidak adanya sisik praokular dan karapas
yang seperti kubah. Penyu ini pada
karapasnya terdapat empat pasang sisik dan di sekitar mata terdapat dua pasang
sisik. Sisik pada jenis penyu ini tidak tumpang tindih. Panjang karapas penyu
ini yang pernah dijumpai adalah 75-115 cm dan beratnya mencapai 300 kg. Penyu Hijau memakan semua tumbuh-tumbuhan yang hidup di laut (remis, ganggang
laut, lamun, lumut, dan ikan).
Musim kawin dari penyu ini berlangsung antara Januari
dan Mei. Penyu betina dapat bertelur antara 100 sampai 125 butir dalam sekali
bertelur. Waktu pengeraman terjadi sekitar 50 sampai 60 hari. Umur penyu ini
dapat mencapai 200 tahun.
Spesies ini terdapat
dimana-mana, termasuk di
perairan tropik dan subtropik. Di Indonesia, penyu ini terdapat di perairan
pantai Jawa, Bali, Sumatra dan mungkin di semua perairan pantai yang landai di Indonesia. Di
Bali, dagingnya dikonsumsi (dimakan) dan karapasnya dijadikan kerajinan tangan
untuk para wisatawan.
Sebenarnya, Penyu
Hijau dari dulu secara ekstensif telah diburu di Indonesia, terutama untuk
dagingnya, telurnya juga dapat dikumpulkan dalam skala besar. Oleh
karena itu, populasi dari penyu hijau di Indonesia menurun dengan cepat.
Tukik Penyu
Hijau yang berada di sekitar
Teluk California
hanya memakan alga merah. Penyu Hijau
akan kembali ke pantai asal ia dilahirkan untuk bertelur setiap 3 hingga 4
tahun sekali.
Ketika Penyu
Hijau masih muda mereka makan
berbagai jenis biota laut seperti cacing laut, udang remis, rumput laut juga
alga. Ketika tubuhnya mencapai ukuran sekitar 20-30 cm, mereka berubah menjadi
herbivora dan makanan utamanya adalah rumput laut.
4.3.3
Penyu Sisik (Eretmochelys
imbricata)
Klasifikasi
Kingdom : Animalia
Kingdom : Animalia
Sub.Kingdom :
Metazoa
Phylum : Chordata
Phylum : Chordata
|
Class : Reptilia
Sub.Class : Anapsida
Ordo : Testudines
Family : Cheloniidae
Genus :
Eretmochelys
Species : Eretmochelys imbricata
Species : Eretmochelys imbricata
Penyu Sisik
(Eretmochelys imbricata)
memiliki empat pasang sisik samping dan pada sekeliling mata terdapat
dua pasang sisik yang tumpang tindih pada karapasnya. Kepalanya mempunyai paruh yang kuat seperti burung
elang.
Dengan paruhnya yang kuat, penyu sisik mudah
mendapatkan makanannya yang tersembunyi di sela-sela batu karang. Makanannya
berupa belukar laut, ubur-ubur, karang dan kepiting.
Selama musim kawin, betinanya mendarat ke pantai tiga
kali dan setiap kali mendarat ia bertelur mencapai 160 butir. Penyu sisik atau dikenal sebagai hawksbill
turtle karena paruhnya tajam dan menyempit/meruncing dengan rahang yang agak
besar mirip paruh burung elang. Sisiknya
(disebut bekko dalam bahasa Jepang) banyak digunakan sebagai bahan baku dalam
industri kerajinan tangan terutama di Jepang untuk membuat pin, sisir, bingkai
kacamata dll.
Sebagian besar spesies ini bertelur di pulau-pulau terpencil. Penyu sisik selalu
memilih kawasan pantai yang gelap, sunyi dan berpasir untuk bertelur. Paruh
penyu sisik agak runcing sehingga memungkinkan mampu menjangkau makanan yang
berada di celah-celah karang seperti sponge dan anemon. Mereka juga memakan
udang dan cumi-cumi.
4.3.4
Penyu Tempayan (Caretta caretta)
Klasifikasi
Kingdom :
Animalia
Sub.Kingdom :
Metazoa
Phylum : Chordata
Phylum : Chordata
|
Class : Reptilia
Sub.Class : Anapsida
Ordo : Testudines
Family : Cheloniidae
Genus : Carretta
Species :
Caretta caretta
Penyu Tempayan (Caretta caretta) merupakan salah satu species yang termasuk dalam suku Chelonidae dan
satu-satunya penyu yang mempunyai lima
pasang sisik kostal. Dalam
bahasa Inggris Penyu ini bernama
loggerhead turtle.
Kepalanya besar, plastronnya tidak berpori-pori dan
kecoklat-coklatan, demikian juga dengan karapasnya. Dengan rahang yang sangat kuat terutama
memakan Crustacea (udang) dan Mollusca (siput), juga avertebrata dasar laut.
Sejauh
ini belum ditemukan bertelur di pantai-pantai di Indonesia. Penyu ini bertelur
bersama-sama dengan sejenisnya dalam kelompok besar. Penyu betina ini mampu menghasilkan telur
mencapai 125 butir dan musim kawinnya dua sampai tiga kali setahun.
4.3.5
Penyu Pipih (Natator
depresus)
Klasifikasi
Kingdom :
Animalia
Sub.Kingdom : Metazoa
Sub.Kingdom : Metazoa
|
Sub.Phylum : Vertebrata
Class : Reptilia
Sub.Class : Anapsida
Ordo : Testudines
Family : Cheloniidae
Genus : Natator
Species :
Natator depressus
Penyu Pipih (Natator depresus) dalam bahasa Inggris bernama flatback
turtle. Pemberian nama flatback turtle karena sisik marginal sangat rata (flat)
dan sedikit melengkung di sisi luarnya.
Di awal abad 20, spesies ini sempat agak ramai
diperdebatkan oleh para ahli. Sebagian orang memasukkannya ke dalam genus Chelonia,
namun setelah diteliti dengan seksama para ahli sepakat memasukkannya ke dalam
genus Natator, satu-satunya
yang tersisa hingga saat ini.
Spesies ini
merupakan hewan karnivora
sekaligus herbivora. Penyu piph
memakan timun laut, ubur-ubur, kerang-kerangan, udang, dan invertebrata lainnya.
4.3.6 Penyu Lekang (Lepidochelys olivacea)
Klasifikasi
Kingdom :
Animalia
|
Phylum : Chordata
Sub.Phylum : Vertebrata
Class : Reptilia
Sub.Class : Anapsida
Ordo : Testudines
Family : Cheloniidae
Genus : Lepidochelys
Spesies : Lepidochelys olivacea
Penyu Lekang (Lepidochelys olivacea) sering ditemukan di perairan
wilayah Samudera Pasifik. Penyu ini jika dilihat dari atas sisi lateralnya
membengkok ke atas dan permukaannya mendatar, lalu berwarna abu-abu pada bagian
atas, dan berwarna krem atau keputih-putihan, dengan sedikit warna abu-abu pada
sisi sebelah bawah.
Tukik yang baru lahir ketika masih basah umumnya
berwarna hitam dan kadang-kadang ada warna kehijauan pada sisinya dan pada
akhirnya akan berwarna abu-abu pada bagian atas dan putih pada bagian bawah.
Penyu ini umumnya bersifat vegetarian, tetapi
kadang-kadang juga memakan kepiting kecil. Penyu ini nyaris punah. Di Indonesia
penyu ini telah dilindungi sejak 1980 karena dianggap telah langka dan
penyebarannya terbatas.
4.3.7 Penyu Lekang Kempii (Lepidochelys
kempi)
Klasifikasi
Kingdom :
Animalia
|
Phylum : Chordata
Sub.Phylum : Vertebrata
Class : Reptilia
Sub.Class : Anapsida
Ordo : Testudines
Family : Cheloniidae
Genus : Lepidochelys
Spesies : Lepidochelys kempi
Penyu Lekang
Kempii (Lepidochelys kempi) adalah salah satu spesies yang tubuhnya
mirip dengan penyu lekang tapi ukurannya hanya sedikit lebih besar. Dalam
bahasa Inggris spesies ini disebut sebagai Kemp’s ridley turtle. Tidak ada yang tahu dari mana spesies ini
datang dan di mana feeding ground mereka. Genus Lepidochelys ini
sering kali melakukan peneluran secara bersama-sama dalam jumlah yang sangat
besar yang dikenal dengan sebutan arribada (Spanyol) yang berarti arrival
(Inggris).
Pada 1947, penyu
ini melakukan peneluran yang sangat spektakuler dengan jumlah induk
sekitar 40 ribu ekor bertelur secara bersamaan di pantai sepanjang 300 km di
Rancho Nuevo, Mexico).
Tujuannya untuk memastikan sebagian telur akan
terselamatkan walaupan sebagian akan dimakan pemangsa. Berikut adalah Tabel Perbandingan dari ke tujuh Jenis Penyu
:
Tabel 1.4 Perbandingan Tujuh Jenis Penyu
di sekitar Perairan Pulau Bali
No
|
Jenis
|
Fisik
|
Siklus Kehidupan
|
|||
Ukuran
|
Berat
|
Warna
|
Habitat
|
Makanan
|
||
1.
|
Penyu
Belimbing
|
±180
cm
|
500 kg
|
Gelap dengan
bintik-bintik putih
|
perairan tropis
hingga kawasan sub kutub
|
Ubur-ubur
|
2
|
Penyu Hijau
|
20-30
cm
|
400
kg
|
Hijau
|
Laut tropis dan
subtropis
|
Kepiting
|
3
|
Penyu Sisik
|
70-90
cm
|
40-90 kg
|
Coklat gelap
bertotol-totol
|
laut
tropika dekat terumbu karang |
Sponge dan Batu
karang
|
4
|
Penyu Tempayan
|
73 - 107 cm
|
159 kg
|
Coklat
kemerah-merahan |
Kawasan
beriklim tropis
|
Kepiting dan Kerang
|
5
|
Penyu Pipih
|
1000
mm
|
90 kg
|
Hitam agak
kehijau-hijauan
|
Laut Jawa, Nusa Tenggara,
Maluku Selatan, Irian Selatan |
Teripang dan Udang
|
6
|
Penyu Lekang
|
55-80
cm
|
40-60
kg
|
Kehijau-hijauan
|
Perairan wilayah Samudera Pasifik
|
Udang,
Ikan dan
Rumput laut
|
7
|
Penyu Lekang
Kempii
|
46-70 cm
|
300 kg
|
Kehijau-hijauan
|
Laut tropika
|
Ketam dan
rumput laut
|
Ciri-ciri Morfologi Penyu:
§
Memiliki cangkang yang sering
disebut kulit penyu.
§
Memiliki Bagian atas tubuh (Carapas) dan bagian bawah tubuh
(Plastron).
§
Dapat dikenal bermacam-macam jenis
penyu dengan cara memperhatikan cangkangnya. (Contohnya : penyu lekang Lepidochelys
olivacea dapat dibedakan dengan penyu tempayan Caretta caretta dikenal
dari susunan plastronnya.
§
Kulit bersisik, bernafas dengan
paru-paru.
§
Perkembangbiakan dengan bertelur.
Setelah telur menetas, anak penyu dinamakan tukik.
§
Memiliki kelenjar garam di dekat
matanya yang digunakan untuk menormalkan kandungan garam dalam darah jika
darahnya mengandung terlalu banyak garam.
§
Penyu mempunyai alat pecernaan
luar yang keras, untuk mempermudah menghancurkan, memotong dan mengunyah
makanan
§
Ciri khas penyu secara morfologis
terletak pada terdapatnya sisik infra marginal sisik yang menghubungkan antara
karapas, plastron dan terdapat alat gerak berupa flipper. Flipper pada
bagian depan berfungsi sebagai alat dayung dan flipper pada bagian belakang berfungsi
sebagai alat kemudi.
§
Penyu pada umumnya bermigrasi dengan jarak yang cukup jauh dengan waktu
yang tidak terlalu lama. Jarak 3.000 kilometer dapat ditempuh 58 – 73
hari.
§
Fungsi cangkang penyu yakni melindungi hewan air ini dari pengaruh lingkungan
dan beratnya relatif ringan sehingga memungkinkan hewan ini bergerak cepat
dibandingkan dengan kura-kura darat. Ketika berenang, kaki penyu berubah bentuk
menjadi dayung lebar yang agak memanjang sedikit sehingga memberikan kemampuan
penyu untuk dapat berenang secepat ikan.
BAB V
PENUTUP
5.1
Kesimpulan
Setelah dilakukannya
penelitian dan pembahasan dari sejarah kehidupan serta jenis-jenis
keanekaragaman dari spesies penyu maka dapat disimpulkan bahwa dari pertama spesies
ini lahir, kehidupannya selalu terancam punah karena manusia kurang
memperhatikan kehidupan penyu serta belum bisa memanfaatkan spesies ini dengan
kearifan dan perlakuan sehat manusia, mulai dari penyu belimbing sampai penyu
lekang kempii. Jadi, jika kita tidak melestarikan kehidupan varietas penyu seperti
Penyu Belimbing, Penyu Hijau, Penyu Sisik, Penyu Tempayan, Penyu Pipih, Penyu
Lekang dan Penyu Lekang Kempii akan terancam punah, lalu keanekaragaman ini
akan sia-sia saja.
5.2
Saran
Dari hasil pengklasifikasian
yang telah dilakukan maka penulis dapat menyarankan kepada pembaca khususnya
siswa-siswi SMA PGRI 2 Palembang agar dapat melestarikan penyu dan lebih
mengenal lagi kehidupan penyu dari berbagai jenis penyu yang hidup di bumi. Untuk
pemerintah, sebaiknya spesies ini dilakukan pengelolaan yang profesional
seperti membuat habitat untuk Penyu (Cagar Alam) karena jika spesies ini terus
diburu sembarang orang maka akan mengalami kepunahan pada spesies tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Agus. D. 1985. Kehidupan Penyu Daging. Jakarta: Yayasan Indonesia Hijau
Bambang Erwanto.2010.http://www.scribd.com/doc/7678534/BAB-II-jenis-jenis-penyu-oleh-bambang-Erwanto
Bustard,
R.H. 1972. Sea Turtle Natural History and Conservation. Sydney:
Collin
Damardono Haryo.2003.http://www.pikiran
rakyat.com/cetak/0103/03/0411.htm
Dymas Galih Dewangga Purwa.2010.http://dymasgalih.wordpress.com/2010/01/04/7-jenis-penyu-yang-dilindungi-undang-undang/
Hartoto.2009.http://www.penalaran-unm.org/index.php/artikel-nalar/penelitian/163-penelitian-deskriptif.html
Miharnanto.2010.http://miharnanto.blogspot.com/2010/01/anatomi-tubuh-hewan.html
Tanpa Nama.2010.http://id.wikipedia.org/wiki/Penyu
Tanpa Nama.2010.http://lareosing.org/entry.php?104-Penyu-Menopang-Bumi
Tanpa
Nama.2010.http://www.scribd.com/doc/9676737/KEANEKARAGAMAN-PENYU
Yayasan
Apel. 2004. Selamatkan Penyu
dan Habitatnya Di Pantai Selatan Tasikmalaya. Tasikmalaya: Yayasan Apel
Sands Casino Review - Slots & Live Dealers in NJ
BalasHapusSands Casino has the best online slot machines available in NJ. Play live dealer games such as Blackjack, Roulette and Video Poker at the best online 싱가포르 마리나 베이 샌즈 카지노
Review of the 2021 Oklahoma Casino Welcome Bonus
BalasHapusThe Oklahoma Gaming 고양 출장안마 Commission 제주 출장마사지 has made 전라북도 출장안마 several 슬롯 changes to its casino list. The following are the updated list 안양 출장마사지 of casinos accepting players from